Tobat Sebagai Guru Pemarah
Program Pendidikan Guru Penggerak
(PGP) baru saya ikuti selama dua bulan dari total sembilan bulan yang harus
ditempuh. Satu paket modul telah saya pelajari, yaitu tentang Paradigma dan
Visi Guru Penggerak yang terdiri dari empat modul, yaitu: modul 1.1 Refleksi
Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara, modul 1.2 Nilai dan Peran Guru
Penggerak, modul 1.3 Visi Guru Penggerak, modul 1.4 Budaya Positif.
Ada rasa malu dan bersalah pada diri
sendiri, ternyata apa yang saya lakukan di kelas selama ini banyak melenceng
dari apa yang dipelajari di paket modul satu Guru Penggerak ini. Ya, sering
marah-marah dan memberikan hukuman kepada murid tanpa mendengarkan dan
memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan alasannya.
Padahal
sebagai seorang guru, seharusnya saya memahami bahwa pendidikan itu hanya suatu
“tuntunan” di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Artinya bahwa hidup tumbuhnya anak itu
terletak di luar kecakapan atau kehendak kita sebagai seorang guru. Seorang
guru haruslah mengenali kodrat alam dan zaman sang anak. Marah dan memberikan
hukuman bukanlah suatu solusi atas apa yang terjadi di kelas. Melainkan akan
menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan anak. Seharusnya seorang guru
menjadi penuntun yang penuh cinta kasih bagi mereka, seorang guru yang bisa menjadi
teman berceritanya, mendengar segala keluh-kesahnya, menciptakan suasana
belajar yang menyenangkan bagi mereka, bukan menegangkan.
Seorang
guru harus mempunyai visi yang jelas untuk murid-muridnya. Visi yang berpijak
pada kekuatan dan hal-hal positif yang ada pada anak sesuai kodrat alam dan
zamannya, juga sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada. Visi yang
berpihak pada murid untuk mewujudkan murid merdeka. Jangan menjadikan
kekurangan sebagai suatu hambatan.
Satu hal
lagi yang penting adalah seorang guru harus bisa menciptakan budaya positif
baik di kelas maupun di lingkungan sekolahnya. Penerapan budaya positif bisa
dimulai dengan membuat kesepakatan kelas bersama murid, dimana hukuman sudah
tidak ada lagi. Dengarkan kemauan anak-anak, beri penguatan, beri solusi, dan
utamakan diskusi.
Tidak ada
kata terlambat dalam segala hal, seperti halnya saya “tobat sebagai guru
pemarah”. Mulai dari diri sendiri itu kunci utamanya. Jadilah guru yang di
depan memberi teladan, di tengah-tengah membangun semangat, dan di belakang
memberikan dorongan dan arahan. Sesuai dengan semboyan Ki Hajar Dewantara yaitu
ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Comments
Post a Comment